PON-PES SALAFIYAH

copyright@pon-pes al-falah sekampung/rizal. Diberdayakan oleh Blogger.

Entri Populer

IDENTITAS BLOGER'S MAN

Foto saya
SEKAMPUNG, LAMPUNG TENGAH, Indonesia
assalamualaikum..... hai sobat ne aq, ank dari sekampung, gimana bagus gax..?

Pengikut

RSS

Biografi Syaikh Ibnu Athoillah As Sakandari


kelahiran dan keluarganya
pengarang kitab al-hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalahtajuddin, abu al-fadl, ahmad bin muhammad bin abd al-karim bin athoillahal-sakandari al-judzami al-maliki al-syadzili. ia berasal dari bangsa arab.nenek moyangnya berasal dari judzam yaitu salah satu kabilah kahlan yangberujung pada bani yastrib bin qohton, bangsa arab yang terkenal dengan arabal-aribah. kota iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini.suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. kendatipunnamanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkantidak ada catatan yang tegas. dengan menelisik jalan hidupnya dr. taftazanibisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 h.
ayahnya termasuk semasa dengan syaikh abu al-hasan al-syadili -pendirithariqah al-syadziliyyah-sebagaimana diceritakan ibnu athoillah dalam kitabnyalathoiful minan ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadapsyaikh abu al-hasan al-syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan:“demi allah,  kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak akuketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding.
keluarga ibnu athoillah adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama,kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya.tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di iskandariahseperti al-faqih nasiruddin al-mimbar al-judzami. kota iskandariah padamasa ibnu athoillah memang salah satu kota ilmu di semenanjung mesir, karenaiskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits,usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokohtasawwuf dan para auliya’sholihin. oleh karena itu tidak mengherankan bila ibnu athoillah tumbuh sebagaiseorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. namun kefaqihannya terusberlanjut sampai pada tingkatan tasawuf. hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.
ibnu athoillah menceritakan dalam kitabnya lathoiful minan bahwa kakeknyaadalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akanserangan dari kakeknya. di sinilah guru ibnu athoillah yaitu abul abbasal-mursy mengatakan: “kalau anak dari seorang alim fiqih iskandariah (ibnuathoillah) datang ke sini, tolong beritahu aku”, dan ketika aku datang,al-mursi mengatakan: “malaikat jibril telah datang kepada nabi bersamadengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya padanabi. malaikat penjaga gunung lalu menyalami nabi dan mengatakan: ” wahaimuhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung padamereka”. dengan bijak nabi mengatakan : ” tidak,, aku mengharap agar kelakakan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”.begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek ibnu athoillah) demi orang yang alim fiqih ini.
pada akhirnya ibn atho’illah memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar.namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampaibisa memadukan fiqh dan tasawuf. oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup athoillah menjadi tiga masa :
masa pertama
masa ini dimulai ketika ia tinggal di iskandariah sebagai pencari ilmuagama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari paraalim ulama di iskandariah. pada periode itu beliau terpengaruhpemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karenakefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini ibnu athoillah bercerita:“dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari abu al-abbas al-mursi,yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. pendapat saya waktu itu bahwayaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaimadanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya.
masa kedua
masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburukejernihan hati ini. masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya,abu al-abbas al-mursi, tahun 674 h, dan berakhir dengan kepindahannya kekairo. dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’ tasawwuf. ketikabertemu dengan al-mursi, ia jatuh kagum dan simpati. akhirnya ia mengambilthariqah langsung dari gurunya ini.ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. suatuketika ibn atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. diabertanya-tanya dalam hatinya : “apakah semestinya aku membenci tasawuf.apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai abul abbas al-mursi ?.setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untukmendekatnya, melihat siapa al-mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkansejatinya. kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akankelihatan. kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.
lalu aku datang ke majlisnya. aku mendengar, menyimak ceramahnya dengantekun tentang masalah-masalah syara’. tentang kewajiban, keutamaan dansebagainya. di sini jelas semua bahwa ternyat al-mursi yang kelak menjadiguru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari tuhan. dan segala puji bagiallah, dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”.maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinyasemakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. sampai-sampaiia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali denganmasuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sangguru dan meningalkan aktivitas lain. namun demikian ia tidak beranimemutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-mursi.
dalam hal ini ibn athoilah menceritakan : “aku menghadap guruku al-mursi,dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. belum sempataku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliaumengatakan : “di kota qous aku mempunyai kawan namanya ibnunaasyi. duludia adalah pengajar di qous dan sebagai wakil penguasa. dia merasakansedikit manisnya tariqah kita. kemudian ia menghadapku dan berkata :“tuanku, apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini danberkhidmat saja pada tuan?”. aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan: “tidak demikian itu tariqah kita. tetaplah dengan kedudukan yang sudah ditentukan allah padamu. apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.
setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk dirikubeliau berkata: beginilah keadaan orang-orang al-siddiqiyyin. mereka samasekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan allah sampaidia sendiri yang mengeluarkan mereka”. mendengar uraian panjang lebarsemacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. danalhamdulillah allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalamhatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh allah”.
masa ketiga
masa ini dimulai semenjak kepindahan ibn atho’ dari iskandariah ke kairo.dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan yang maha asih pada tahun 709h. masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan ibnuathoillah dalamilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. ia membedakan antara uzlah dan kholwah. uzlahmenurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir denganmakhluk, yaitu dengan cara si salik (orang yang uzlah) selalu mengontroldirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. ketika seorang sufi sudah mantapdengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapankhalwah. dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia tuhan,kholwah adalah perendahan diri dihadapan allah dan pemutusan hubungan dengan selain allah swt.
menurut ibnu athoillah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yangtingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. panjangnya sepanjang iasujud. luasnya seluas tempat duduknya. ruangan itu tidak ada lubang untukmasuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya.
ibnu athoillah sepeninggal gurunya abu al-abbas al-mursi tahum 686 h,menjadi penggantinya dalam mengembangkan tariqah syadziliah. tugas ini iaemban di samping tugas mengajar di kota iskandariah. maka ketika pindah kekairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di masjid al-azhar.ibnu hajar berkata: “ibnu athoillah berceramah di azhar dengan tema yangmenenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan denganriwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. maka tidakheran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”. halsenada diucapkan oleh ibnu tagri baradi : “ibnu athoillah adalah orangyang sholeh, berbicara di atas kursi azhar, dan dihadiri oleh hadirin yangbanyak sekali. ceramahnya sangat mengena dalam hati. dia mempunyaipengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahlitariqah”. termasuk tempat mengajar beliau adalah madrasah al-mansuriah dihay al-shoghoh. beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorangahli fiqih dan tasawwuf, seperti imam taqiyyuddin al-subki, ayah tajuddin al-subki, pengarang kitab tobaqoh al-syafiiyyah al-kubro.
sebagai seoarang sufi yang alim ibn atho’ meninggalkan banyak karangansebanyak 22 kitab lebih. mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.
karomah ibn athoillah
al-munawi dalam kitabnya al-kawakib al-durriyyah mengatakan:syaikhkamal ibnu humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca surathud sampai pada ayat yang artinya: “diantara mereka ada yang celaka danbahagia…”. tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur ibnathoillahdengan keras: “wahai kamal tidak ada diantara kita yang celaka”.demi menyaksikan karomah agung seperti iniibnu humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan ibnuathoillah ketika meninggal kelak.
di antara karomah pengarang kitab al-hikam adalah, suatu ketika salah satumurid beliau berangkat haji. di sana si murid itu melihat ibnathoillahsedang thawaf. dia juga melihat sang guru ada di belakang maqamibrahim, di masa dan arafah. ketika pulang, dia bertanya padateman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. si murid langsungterperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “tidak”. kurang puasdengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : “siapa saja yang kamu temui ?” lalu si muridmenjawab : “tuanku saya melihat tuanku di sana “. dengan tersenyum al-arifbillah ini menerangkan : “orang besar itu bisa memenuhi dunia. seandainyasaja wali qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya.
ibn atho’illah wafat
tahun 709 h adalah tahun kemalangan dunia maya ini. karena tahun tersebutwali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alambarzah, lebih mendekat pada sang pencipta. namun demikian madrasahal-mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisahdengan sang nyawa. ribuan pelayat dari kairo dan sekitarnya mengiring kekasih allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-qorrofah al-kubro.
__________________________________________________
kalau menemukan kesalahan dalam tulisan ini mohon dikoreksi terima kasih:


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

sejarah hidup imam ghozali

Sejarah Hidup Imam Al Ghazali (1)

Kategori: Biografi
108 Komentar // 10 May 2008
Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.

Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
-bersambung insya Allah-
***
Sumber: Majalah As Sunnah

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS